Cari Blog Ini

Rabu, 25 Mei 2011

Prinsip Moral dan Legalisasi Keperawatan


1.             Teori-teori Moral
Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.  Agar lebih mudah orang-orang menyebutnya moral. Moral dapat diartikan ajaran kesusilaan.  Moralitas berarti hal mengenai kesusialaan. Sedangkan, etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan tentang perilaku manusia, perbuatan manusia yang baik dan yang buruk  (Ethics the study and phylosophy of human conduct with emphasis  on the determination of right and wrong one of the normative sciences).
Moral hampir sama dengan etika, biasanya merujuk pada standar personal tentang benar atau salah. Hal ini sangat penting untuk mengenal antara etika dalam agama, hukum, adat dan praktek profesional. Membahas tentang moral, ada dua tokoh yang mengemukakan teorinya mengenai perkembangan moral.
a.              Teori Piaget
Dalam bukunya The moral judgement of  the Child (1923) Piaget menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu tahap yang lebih tinggi.  Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan.  Ia mendekati pertanyaan itu dari dua sudut.  Pertama  kesadaran akan peraturan (sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan)  dan kedua, pelaksanaan dari peraturan itu.
Menurut Piaget, perkembangan moral berlangsung dalam dua tahap :
v   Tahap realisme moral, yaitu moralitas oleh pembatasan (< 12 tahun):
Usia 0 – 5 tahun: pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran/penilaian.  Anak menilai tindakan berdasar konsekuensinya.
Usia 7/8 – 12 tahun: pada tahap ini anak menilai perilaku atas dasar tujuan. konsep tentang benar/salah mulai dimodifikasi (lebih luwes/ fleksible ), konsep tentang keadilan mulai berubah.
v    Tahap operasional formal, yaitu moralitas dengan analisis (>12 tahun)
Anak mampu mempertimbangkan segala cara untuk memecahkan masalah.
Anak bernalar atas dasar hipotesis dan dalil dengan melihat masalah dari berbagai sudut pandang.
 
b.             Teori Kohlberg
Kohlberg mengkaji perkembangan moral anak dengan bertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning yang kemudian dibagi dalam tiga taraf.
 1.      Taraf Pra-Konvensional
            Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka)  kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah.  Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi, orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya.  Pada taraf ini terdiri dari dua tahpan yaitu:
1)      punishment and obedience orientation.  Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa diangga bernilai pada dirinya sendiri.
2)      Instrument-relativist orientation.  Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.  Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar.  Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.
2.  Conventional Level ( taraf Konvensional)
Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga atau bangsa bernilai pada dirinya sendiri.  Anak tidak hanya mau berkompromi, tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social. 
Dalam taraf ini terdiri dari tahap berikut.
3)  Tahap interpersonal corcodance atau “good boy-nice girl” orientation.  Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan  mereka.  Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku “manis”.  Orang berusaha membuat dirinya wajar  seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku.  Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik.
4) Tahap law and order,  orientation
Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban social dijunjung tinggi dalam tahap ini.  Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban social.
3.  Postoonventional Level ( taraf sesudah konvensional)
Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana.  Taraf ini meliputi tahapan berikut.
5)      Social contract orientation. 
Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu  dsan norma-norma  yang sudah teruji di masyarakat.  Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relative, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu consensus bersama. 
6)      The universal ethical principle orientation
Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati.  Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat avstrak.  Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat( nilai) manusia sebagai pribadi.
Dalam proses perkembangan moral reasoning dengan enam tahapannya seperti itu berlakulan dalil berikut.
1.             Perkembangan moral terjadi secara berurutan dari satu tahap ke tahap berikutnya.
2.             Dalam perkembangan moral orang tidak memahami cara berfikir dari tahap yang lebih dari dua tahap diatasnya.
3.             Dalam perkembangan moral, seseorang secara kognitif tertari pada cara berfikir dari satu tahap diatas tahapnya sendiri.  Anak dari 2 tahap 2 merasa tertarik kepada tahap 3.  berdasarkan inilah kohlber percaya bahwa moral reasoning dapat dan mungkin diperkembangkan.
Dalam perkembangan moral, perkembangan hanya akan terjadi apabila diciptakan suatu diequilibrium kognitif pada diri si anak didik.  Sesorang yang sudah mapan dalam satu tahap tertentu harus diusik secara kognitif sehinga ia terangsang untuk memikirkan kembali prinsip yang sudah dipegangnya.  Kalau ia tetap tentram dan tetap dalam tahapannya sendiri, maka tidak mungkin ada perkembangan.

2.             Prinsip Moral dalam Keperawatan
Beberapa prinsip moral yang harus diaplikasikan perawat dalam pemberian asuhan keperawatan menurut Baird, McCorcle dan Grant (1991) diantaranya adalah autonomy, beneficience, justice, veracity, avoiding killing dan fidelity.
a.       Autonomy/Otonomi
Autonomy berarti mengatur dirinya sendiri, prinsip moral ini sebagai dasar perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan cara menghargai klien, bahwa klien adalah seorang yang mampu menentukan sesuatu bagi dirinya. Perawat harus melibatkan klien dalam membuat keputusan tentang asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien.
Aplikasi prinsip moral otonomi dalam asuhan keperawatan ini contohnya adalah seorang perawat apabila akan menyuntik harus memberitahu untuk apa obat tersebut. Prinsip otonomi ini dilanggar ketika seorang perawat tidak menjelaskan suatu tindakan keperawatan yang akan dilakukannya, tidak menawarkan pilihan misalnya memungkinkan suntikan atau injeksi bisa dilakukan di pantat kanan atau kiri dan sebagainya. Perawat dalam hal ini telah bertindak sewenang-wenang pada orang yang lemah.
b.             Beneficience
Prinsip beneficience (doing good) yaitu melakukan yang terbaik. Beneficience adalah melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain, tidak membahayakan klien. Apabila membahayakan, tetapi menurut klien hal itu yang terbaik maka perawat harus menghargai keputusan klien tersebut, sehingga keputusan yang diambil perawat pun yang terbaik bagi klien dan keluarga.
Beberapa contoh prinsip tersebut dalam aplikasi praktik keperawatan adalah seorang klien mengalami perdarahan setelah melahirkan. Menurut program terapi, klien tersebut harus diberikan tranfusi darah, tetapi klien mempunyai kepercayaan bahwa pemberian tranfusi bertentangan dengan keyakinanya, dengan demikian perawat mengambil tindakan yang terbaik dalam rangka penerapan prinsip moral ini yaitu tidak memberikan tranfusi setelah pasien memberikan pernyataan tertulis tentang penolakanya. Perawat tidak memberikan tranfusi, padahal hal tersebut membahayakan klien, dalam hal ini perawat berusaha berbuat yang terbaik dan menghargai klien.
c.              Justice
Setiap individu harus mendapatkan tindakan yang sama, merupakan prinsip dari justice (Perry and Potter, 1998). Justice adalah keadilan, prinsip justice ini adalah dasar dari tindakan keperawatan bagi seorang perawat untuk berlaku adil pada setiap klien, artinya setiap klien berhak mendapatkan tindakan yang sama.
Tindakan yang sama tidak selalu identik, maksudnya setiap klien diberikan konstribusi yang relatif sama untuk kebaikan kehidupannya. Prinsip Justice dilihat dari alokasi sumber-sumber yang tersedia, tidak berarti harus sama dalam jumlah dan jenis, tetapi dapat diartikan bahwa setiap individu mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkannya sesuai dengan kebutuhan klien.
Sebagai contoh dari penerapan tindakan justice ini adalah dalam keperawatan di ruang penyakit bedah, sebelum operasi klien harus mendapatkan penjelasan tentang persiapan pembedahan baik klien di ruang VIP maupun kelas III, apabila perawat hanya memberikan kesempatan salah satunya maka melanggar prinsip justice ini.
d.             Veracity
Veracity merupakan suatu kewajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang lain atau klien.
Perawat dalam bekerja selalu berkomunikasi dengan klien. Kadang klien menanyakan berbagai hal tentang penyakitnya, tentang hasil pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan fisik seperti, “berapa tekanan darah saya suster?”, bagaimana hasil laboratorium saya suster?’ dan sebagainya. Hal-hal seperti itu harusnya dijawab perawat dengan benar sebab berkata benar atau jujur adalah pangkal tolak dari terbinanya hubungan saling percaya antar individu di mana pun berada.
e.              Fidelity
Sebuah profesi mempunyai sumpah dan janji, saat seorang menjadi perawat berarti siap memikul sumpah dan janji. Membuat suatu janji atau sumpah merupakan prinsip dari fidelity atau kesetiaan. Dengan demikian fidelity bisa diartikan dengan setia pada sumpah dan janji. Fidelity (keeping promises), yaitu perawat selama bekerja mempunyai niat yang baik untuk memegang sumpah dan setia pada janji. Prinsip fidelity menjelaskan kewajiaban perawat untuk tetap setia pada komitmennya, yaitu kewajiban mempertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan klien yang meliputi menepati janji dan menyimpan rahasia serta caring.
Prinsip fidelity ini dilanggar ketika seorang perawat tidak bisa menyimpan rahasia klien kecuali dibutuhkan, misalnya sebagai bukti di pengadilan, dibutuhkan untuk menegakan kebenaran seperti penyidikan dan sebagainya.
Penerapan prinsip fidelity dalam praktik keperawatan misalnya, seorang perawat tidak menceritakan penyakit pasien pada orang yang tidak berkepentingan, atau media lain baik diagnosa medisnya (Carsinoma, Diabetes Militus) maupun diagnosa keperawatanya (Gangguan pertukaran gas, Defisit nutrisi). Selain contoh tersebut yang merupakan rahasia pasien adalah pemeriksaan hasil laboratorium, kondisi ketika mau meninggal dan sebagainya.
f.               Avoid Killing
Prinsip avoiding killing menekankan perawat untuk menghargai kehidupan manusia (klien), tidak membunuh atau mengakhiri kehidupan. Thomhson  menjelasakan tentang masalah avoiding killing sama dengan Euthanasia yang kata lainya tindak menentukan hidup atau mati yaitu istilah yang digunakan pada dua kondisi yaitu hidup dengan baik atau meninggal. Ketika menghadapi klien dengan kondisi gawat maka seorang perawat harus mempertahankan kehidupan klien dengan berbagai cara, misalnya pada klien koma.
Klien dan keluarga mempunyai hak-hak menentukan hidup atau mati. Perawat dalam mengambil keputusan masalah etik ini harus melihat prinsip moral yang lain yaitu beneficience, nonmaleficience dan otonomy yaitu melakukan yang terbaik, tidak membahayakan dan menghargai pilihan pasien serta keluarga untuk hidup atau mati. Mati disini bukan berarti membunuh klien tetapi menghentikan perawatan dan pengobatan dengan melihat kondisi klien dengan pertimbangan beberapa prinsip moral diatas.
3.             Regulasi Keperawatan di indonesia
Regulasi keperawatan (registrasi dan praktik keperawatan) adalah kebijakan atau ketentuan yang mengatur profesi keperawatan dalam melaksanakan tugasa profesinya dan terkait dengan kewajiban dan hak. Beberapa regulator yang berhubungan dengan perawat dan keperawatan Indoneasia.
Registrasi merupakan pencantuman nama seseorang dan informasi lain pada badan resmi baik milik pemerintah maupun non pemerintah. Perawat yang telah terdaftar diizinkan memakai sebutan registered nurse. Untuk dapat terdaftar, perawat haus telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan lulus ujian dari badan pendaftaran dengan nilai yang diterima. Izin praktik maupun registrasi harus diperhatikan setiap satu atau dua tahun.
Dalam masa transisi profesional keperawatan di Indonesia, sistem perizinan praktik dan registrasi sudah saatnya segera diwujudkan untuk semua perawat baik bagi lulusan SPK, akademi, sarjana, maupun program master keperawatan dengan lingkup pekatik sesuai dengan kompetensi masing-masing.
Pengaturan praktk perawat dilakuakan melalui Kepmenkes nomor 239/no 647 tahun 2011 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, yaitu setiap perawat yang melakukan praktik di unit pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta diharuskan memiliki Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Izin Kerja (SIK). Pengawasan dan pembinaan terhadap praktik  pribadi perawat dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat propinsi, kabupaten sampai puskesmas. Pengawasan yang telah dilakukan selama ini oleh pemerintah (Dinas Kesehatan Kabupaten Tanjung Jabung Timur) belum sesuaidengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1239 tahun 2001.
SIP adalah suatu bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan diseluruh wilayah indonesia oleh departemen kesehatan.
SIK adalah bukti tertulis yang diberikan perawat untuk melakukan praktek keperawatan disarana pelayanan kesehatan.
SIPP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktik perwat perorangan atau bekelompok, Perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan asuhan dalam bentuk kunjungan rumah.

4.             Batasan Legal dan Profesional dalam Keperawatan
Perawat perlu tahu tentang hukum yang mengatur prakteknya untuk:
1.             Memberikan kepastian bahwa keputusan & tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum
2.             Melindungi perawat dari liabilitas
Perjanjian atau kontrak dalam perwalian
Kontrak mengandung arti ikatan persetujuan atau perjanjian resmi antara dua atau lebih partai untuk mengerjakan atau tidak sesuatu. Dalam konteks hukum, kontrak sering disebut dengan perikatan atau perjanjian. Perikatan artinya mengikat orang yang satu dengan orang lain. Hukum perikatan di atur dlm UU hukum Perdata pasal 1239
” Semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termaktub dalam bab ini dan bab yang lalu.” Lebih lanjut menurut ketentuan pasal 1234 KUHPdt, setiap perikatan adalah untuk memberikan, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Perikatan dapat dikatakan sah bila memenuhi syarat sebagai berikut.
v   Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian (Consencius)
v   Ada kecakapan terhadap pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity). Ada sesuatu hal tertentu ( a certain subjec matter) dan ada sesuatu sebab yang halal (Legal Cause).(Muhammad 1990).
v   Kontrak perawat-pasien dilakukan sebelum melakukan asuhan keperawatan.
v   Kontrak juga dilakukan sebelum menerima dan diterima di tempat kerja.
v   Kontrak Perawat-Pasien digunakan untuk melindungi hak-hak kedua belah pihak yang bekerja sama.
v   Kontrak juga untuk menggugat pihak yang melanggar kontrak yang disepakati
Perawat profesional harus mampu memahami batasan legal yang mempengaruhi praktik sehari-hari mereka. Hal ini yang dikaitkan dengan penilaian yang baik dan menyuarakan pembuatan keputusan yang menjamin asuhan keperawatan yang aman dan sesuai. Pedoman legal yang harus diikuti perawat diambil dari undang-undang, hukum pengaturan, dan hukum adat.
Hukum dikeluarkan oleh badan pemerintah dan harus dipatuhi oleh warga negara. Setiap orang yang tidak mematuhi hukum akan terikat secara hukum untuk menanggung denda atau hukum penjara. Tidak ada yang perlu ditakutkan akan melanggar hukum jika:
v   Hanya melakukan hal-hal yang sudah diajarkan dan berada dalam cukup pelatihan.
v   Selalu memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang terbaru.
v   Selalu menempatkan keselamatan dan kesejahteraan pasien sebagai hal yang terpenting.
v   Melakukan pekerjaan sesuai dengan kebijakan fasilitas.
Batasan Kelalaian atau Malpraktik
Kesalahan adalah kesalahan sipil yang dibuat terhadap seseorang atau hak milik. Kesalahan bisa diklasifikasi menjadi kesalahan tidak disengaja (kelalaian dan malpraktik) atau disengaja (pelecehan, pemukulan, pemfitnahan, atau invasi pribadi). Malpraktik merupakan kelalaian yang dilakukan oleh seorang profesional seperti perawat atau dokter. Kesalahan disengaja merupakan tindakan disengaja yang melanggar hak seseorang.
Kelalaian adalah perilaku yang tidak sesuai standar perawatan. Malpraktik terjadi ketika asuhan keperawatan tidak sesuai yang menuntut praktik keperawatan yang aman. Kelalaian ditetapkan oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap resiko bahaya yang tidak seharusnya. Ini dikarakteristikkan oleh ketidakperhatian, keperhatian atau kurang perhatian.
Kelalaian atau malpraktik dapat terjadi jika:
v   Perawat melakukan kecerobohan, seperti tidak memeriksa balutan lengan yang memungkinkan pemberian medikasi yang salah.
v   Perawat melakukan prosedur dimana mereka telah terlatih dan melakukan dengan hati–hati, tetapi masih membahayakan klien
v   Perawat memberikan perawatan yang tidak sesuai dengan  standar (malpraktik).
Berikut merupakan contuh tindakan lalai atau malpraktik:
v   Kesalahan terapi intravena yang menyebabkan infiltrasi atau flebitis
v   Luka bakar pada klien karena terapi panas yang tidak tepat pemantauannya
v   Jatuh yang menyebabkan cidera pada klien
v   Kesalahan menggunakan tehnik aseptik ketika diperlukan
v   Kesalahan menghitung spon, instrumen, atau jarum dalam kasus operasi
Perawat harus melakukan semua prosedur secara besar. Mereka juga harus menggunakan penilaian profesional saat mereka menjalankan program dokter dan juga terapi keperawatan mandiri dimana mereka berwewenang. Setiap perawat yang tidak memenuhi standar praktik atau perawatan yang dapat diterima atau melakukan tugasnya dengan ceroboh berisiko dianggap lalai. Karena malpraktik adalah kelalaian yang berhubungan dengan praktik profesional, kriteria berikut harus ditegakkan dalam gugatan hukum malpraktik terhadap seorang perawat :
v   perawat (terdakwa) berhutang tugas pada klien (penggugat).
v   perawat tidak melakukan tugas tersebut atau melanggar tugas perawatan.
v   klien cidera.
v   baik penyebab aktual dan kemungkinan mencederai klien adalah akibat dari kegagalan perawat untuk melakukan tugas.
Dasar Hukum Malpraktik
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kesadaran masyarakat akan kesehatan juga semakin meningkat. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pengaduan terkait malpraktik oleh dokter atau pun perawat. Walaupun UU No. 6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan sudah dicabut oleh UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, namun perumusan malpraktik/kelalaian medik tercanutm pada pasal 11b masih dapat dipergunakan yaitu: Dengan tidak mengurangi ketentuan–ketentuan di dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratif dalam hal sebagai berikut :
v   melalaikan kewajiban.
v   Melakukan suatu hal yang tidak seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun sumpah sebagai tenaga kesehatannya.
Penanganan Malpraktik
Walaupun dalam KODEKI telah tercantum tindakan-tindakan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Akan tetapi sanksi bila terjadi pelanggaran etik tidak dapat diterapkan dengan seksama. Dalam etik sebenarnya tidak ada batas–batas yang jelas antara  boleh atau tidak.
Di negara-negara maju terdapat suatu Dewan Medis yang bertugas melakukan pembinaan etik profesi dan menanggulangi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam etik kedokteran. Di negara kita IDI telah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), baik di tingkat pusat maupun di tingkat cabang. Walaupun demikian, MKEK  ini belum lagi dimanfaatkan dengan baik oleh para dokter ataupun masyarakat. Oleh karena fungsi MKEK ini belum memuaskan, maka pada tahun 1982 Departemen Kesehatan membentuk Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) yang terdapat pula di pusat dan tingkat provinsi.
Tugas P3EK adalah untuk menangani kasus-kasus malpraktik yang tidak dapat ditanggulangi oleh MKEK, dan memberi pertimbangan usul-usul  kepada pejabat yang berwenang. Jadi instansi pertama yang menangani kasus malpraktik etik adalah MKEK cabang atau wilayah. Masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh MKEK maka akan dirujuk ke P3EK provinsi dan jika P3EK provinsi tidak mampu menanganinya maka kasus tersebut diteruskan ke P3EK pusat.
Pengendalian Hukum Oleh Perawat dan Klien
Pelayanan keperawatan di masa mendatang harus dapat memberikan consumer minded terhadap pelayana keperawatan yang di terima. Hal ini didasarkan pada ”trends” perubahan saat ini dan persaingan yang semakin ketat. Perawat diharapkan dapat mendefinisikan, mengimplementasikan dan mengukur perbedaan bahwa praktik keperawatan harus dapat sebagai indikator terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang profesional di masa depan. Karena pelayanan keperawatan di masa mendatang belum jelas, maka perawat profesional di masa mendatang harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kualitas sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Ada 4 hal yang harus dijadikan perhatian utama keperawatan di Indonesia:
v   Memahami dan menerapkan peran perawat
v   Komitmen terhadap identitas keperawatan
v   Perhatian terhadap perubahan dan trend pelayanan kesehatan kepada masyarakat
v   Komitmen dalam memenuhi tuntutan tantangan sistem pelayanan kesehatan melalui upaya yang kreatif dan inovatif.
Perawat Indonesia di masa depan harus dapat memberikan asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan yang berkembang seiring dengan perkembangan IPTEK dan tuntutan kebutuhan masyarakat, sehingga perawat dituntut mampu menjawab dan mengantisipasi terhadap dampak dari perubahan. Perawat dapat mengurangi kesempatan mereka terkena perkara hukum dengan mengikuti standar perawatan, memberikan perawatan kesehatan yang kompeten, dan mengembangkan hubungan empatik dengan klien. Selain itu, dokumentasi yang hati-hati, lengkap, dan objektif berperan sebagai bukti standar asuhan keperawatan yang diberikan. Dokumentasi yang tepat waktu dan jujur penting untuk memberikan komunikasi yang perlu antar anggota tim pelayanan kesehatan. Dokumentasi digunakan dalam banyak cara yang menguntungkan klien dan menunjukkan bahwa perawat adalah pemberi perawatan yang efektif. Dokumentasi yang baik juga mempertahankan pemberi perawatan kesehatan lain yang mempunyai pengetahuan baru tentang tindakan terbaru yang diterima klien sehingga perawatan terus menerus diberikan dengan aman.
Hubungan perawat-klien sangat penting, tidak hanya dalam menjamin kualitas perawatan tetapi juga dalam meminimalkan risiko hukum. Saling percaya terbentuk antara perawat dan klien. Klien yang percaya bahwa perawat melakukan tugas mereka secara benar dan memperhatikan kesejahteraan mereka mungkin urung untuk memulai perkara hukum melawan perawat. Perawatan yang tulus untuk klien adalah peranan penting perawat dan merupakan alat manajemen-risiko efektif. Bagaimana pun, perawatan tidak akan secara total melindungi perawat jika terjadi kelalaian praktik. Ketika klien cedera, pemeriksaan tentang kejadian bisa berimplikasi pada perawat bahkan jika klien merasa baik terhadap mereka.

5.             Tanggung Gugat Perawat
Akontabiliti/tanggung gugat dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi-konsekunsinya. Perawat hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia menyatakan siap dan berani menghadapinya. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan profesinya. Perawat harus mampu untuk menjelaskan kegiatan atau tindakan yang dilakukannya. Hal ini bisa dijelaskan dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut :
1.             Kepada siap tanggung gugat itu ditujukan
Sebagai tenaga perawat kesehatan perawat memiliki tanggung gugat terhadap klien. Sedangkan sebagai pekerja atau karyawan perawat memilki tanggung jawab terhadap direktur, sebagai profesional perawat memilki tanggung gugat terhadap ikatan profesi. Sebagai anggota team kesehatan perawat memiliki tanggung gugat terhadap ketua tim biasanya dokter (perawat memberikan injeksi terhadap klien). Injeksi ditentukan berdasarkan advis dan kolaborasi dengan dokter, perawat membuat daftar biaya dari tindakan dan pengobatan yang diberikan yang harus dibayarkan ke pihak rumah sakit. Dalam contoh tersebut perawat memiliki tanggung gugat terhadap klien, dokter, RS dan profesinya.
2.             Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat?
Perawat memilki tanggung gugat dari seluruh kegitan professional yang dilakukannya mulai dari mengganti laken, pemberian obat sampai persiapan pulang. Hal ini bisa diobservasi atau diukur kinerjanya.
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya?
Ikatan perawat, PPNI atau Asosiasi perawat atau Asosiasi Rumah sakit telah menyusun standar yang memiliki krirteria-kriteria tertentu dengan cara membandingkan apa-apa yang dikerjakan perawat dengan standar yang tercantum.baik itu dalam input, proses atau outputnya. Misalnya apakah perawat mencuci tangan sesuai standar melalui 5 tahap yaitu mencuci kuku, telapak tangan, punggung tangan, pakai sabun di air mengalir selama 3 kali, dan sebagainya.

6.             Isu Legal dalam Keperawtan
Telenursing akan berkaitan dengan isu aspek legal, peraturan etik dan kerahasiaan pasien sama seperti telehealth secara keseluruhan. Di banyak negara, dan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat khususnya praktek telenursing dilarang (perawat yang online sebagai koordinator harus memiliki lisensi di setiap resindesi negara bagian dan pasien yang menerima telecare harus bersifat lokal) guna menghindari malpraktek perawat antarnegara bagian. Isu legal aspek seperti akontabilitas dan malprakatek, dan sebagainya dalam kaitan telenursing masih dalam perdebatan dan sulit pemecahannya.
Dalam memberikan asuhan keperawatan secara jarak jauh maka diperlukan kebijakan umum kesehatan (terintegrasi) yang mengatur praktek, SOP/standar operasi prosedur, etik dan profesionalisme, keamanan, kerahasiaan pasien dan jaminan informasi yang diberikan. Kegiatan telenursing mesti terintegrasi dengan strategi dan kebijakan pengembangan praktek keperawatan, penyediaan pelayanan asuhan keperawatan, dan sistem pendidikan dan pelatihan keperawatan yang menggunakan model informasi kesehatan/berbasis internet.
Perawat memiliki komitmen menyeluruh tentang perlunya mempertahankan privasi dan kerahasiaan pasien sesuai kode etik keperawatan. Beberapa hal terkait dengan isu ini, yang secara fundamental mesti dilakukan dalam penerapan tehnologi dalam bidang kesehatan dalam merawat pasien adalah:
1.             Jaminan kerahasiaan dan jaminan pelayanan dari informasi kesehatan yang diberikan harus tetap terjaga
2.             Pasien yang mendapatkan intervensi melalui telehealth harus diinformasikan potensial resiko (seperti keterbatasan jaminan kerahasiaan informasi, melalui internet atau telepon) dan keuntungannya
3.             Diseminasi data pasien seperti identifikasi pasien (suara, gambar) dapat dikontrol dengan membuat informed consent (pernyataan persetujuan) lewat email
4.             Individu yang menyalahgunakan kerahasiaan, keamanan dan peraturan dan penyalah gunaan informasi dapat dikenakan hukuman/legal aspek

Sumber:
Rizky. (2009). “Teori Piaget tentang Perkembangan Moral.” http://kuliahpsikologi.dekrizky.com/teori-piaget-tentang-perkembangan-moral, diakses pada hari Sabtu, 30 April 2011 pukul 15.50 WIB.
Akbar, A. “Hand out: Sistem legilisaasi keperawatan, kredentialing, dan regulasi keperawatan. http://www.scribd.com/doc/26148623/Hand-Out-Kredentialing-Sistem-Legislasi-Keperawatan, diakses pada hari Sabtu, 30 April 2011 pukul 18.50 WIB.
Anonim. (2010). “Batas legal dalam keperawatan.http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/22/batas-legal-dalam-keperawatan/, diakses pada hari Sabtu, 30 April 2011 pukul 20.13 WIB.
Yosep, I. “Tanggung jawab (responsibility) dan tanggung gugat (accountability) perawat dalam susdut pandang etik.unpad.ac.id%2Funpad-content%2Fuploads%2Fpublikasi_dosen%2Ftanggung%2520jawab%2520dan%2520tanggung%2520gugat%2520perawat%2520dalam%2520sudut%2520pandan.pdf&ei=sAu8TYe4DoyovQPC1_jRBQ&usg=AFQjCNH3cLrcvgL4VYFpQbmMTmLvSIlpyw&sig2=YEGjF8nlSAfrKk8mcZTNlQ, diakses pada hari Sabtu, 30 April 2011 pukul 20.30 WIB.
Anonim. “Isu legal dan standar praktik keperawatan.http://www.scribd.com/doc/22952825/Standar-praktek-keperawatan, diakses pada hari Sabtu, 30 April 2011 pukul 21.10 WIB.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar